MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN ATAS KESALAHAN-KESALAHAN YANG PERNAH SAYA LAKUKAN BAIK YANG DISENGAJA MAUPUN TIDAK SENGAJA ..... SEMOGA ALLAH MASIH MEPERTEMUKAN KITA PADA RAMADHAN 1436H AMIN .. AMIN..MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN ATAS KESALAHAN-KESALAHAN YANG PERNAH SAYA LAKUKAN BAIK YANG DISENGAJA MAUPUN TIDAK SENGAJA ..... SEMOGA ALLAH MASIH MEPERTEMUKAN KITA PADA RAMADHAN 1436H AMIN .. AMIN.MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN ATAS KESALAHAN-KESALAHAN YANG PERNAH SAYA LAKUKAN BAIK YANG DISENGAJA MAUPUN TIDAK SENGAJA ..... SEMOGA ALLAH MASIH MEPERTEMUKAN KITA PADA RAMADHAN 1436H AMIN .. AMIN.

Senin, 12 September 2011

:

SEBUAH RENUNGAN !

Jangan apriori dulu membaca judul di atas. Memang tidak ada aturan resmi tentang larangan guru memberi nilai kurang kepada siswa. Belum jelas sanksi yang diterima bagi guru yang memberi nilai kurang. Tetapi bapak ibu guru mengalami ada larangan memberi nilai kurang.

Ketika guru memberi ulangan harian, dan ada siswa mendapat nilai kurang, menjadi kewajiban guru memberi remedial. Namun jika beberapa kali siswa tidak mampu memenuhi KKM, apa daya itulah hasil terbaik siswa. Toh dalam kriteria kenaikan yang menjadi wewenang sekolah tercantum, siswa bisa naik kelas jika maksimal terdapat beberapa nilai kurang dari KKM. Suatu kebijakan untuk menolerir batas kemampuan anak multi talenta.

Hingga rapat guru akan menentukan nasib anak yang belum memenuhi kriteria kenaikan. Wajar anak yang nilainya tidak memenuhi syarat apalagi nakal tidak naik kelas. Memberi pelajaran terbaik bagi pendidikan. Tidak hanya kepada anak yang tinggal kelas, tetapi juga yang lain.

Nilai Kurang Bukan Barang Tabu

Namun apa yang terjadi akhir-akhir ini? Setelah formula kelulusan mengakomodir nilai rapor serta nilai ujian sekolah, nilai-nilai kurang itu dianggap tabu bagi pendidikan. Apa sebab? Mudah diterka. Sekolah kuatir, jika nilai rapor dan nilai ujian sekolah rendah, akan banyak anak yang gagal lulus sekolah.
Angka-angka pun bermetamorfosis. Angka-angka kurang yang biasa melekat pada anak berkemampuan rendah lenyap bagai tersapu angin. Kalau secara statistik nilai anak ini biasanya berdistribusi normal, kali ini miring ke kanan. Baik semua. Parahnya ketika diverifikasi dan dilakukan tindakan P3K (Pertolongan Pertama Pada Kelulusan), biasanya justru anak-anak yang nilainya sangat kurang dan nakal mendapat hibah nilai lebih banyak. Yang belum dipikirkan secara masak, bagaimana tanggapan anak, orang tua atau siapapun, ketika suatu saat membaca nilai anak-anak yang biasanya di bawah standart tiba-tiba melonjak drastis?

Ada cerita, ketika acara menganugrahkan kepada lulusan terbaik, yang tampil sebagai pemuncak sebagian diisi anak-anak yang biasanya langganan remedial dan nakal. Tidak hanya teman, guru atau orang tua, masyarakat awam yang sudah mengenal anak-anak seperti ini kaget. Jangan heran bila ada orang memberi sindiran bahwa guru waktu memberi nilai matanya terpejam. Ini menunjukkan masyarakat awam tidak antipati terhadap nilai kurang. Asal nilai itu diperoleh melalui proses benar dan proporsional dengan kemampuan anak. Jadi nilai kurang bukan barang tabu lagi. Mengapa takut memberi nilai kurang?


Kecurangan sistematis berdampak sistemik

Sementara efek bola salju formula kelulusan UN menggelinding. Sedikit demi sedikit dampaknya terasa. Kekuatiran berlebihan itu menjelma bagai mimpi buruk di siang bolong. Kabar burung yang berhembus, praktek pendongkrakan nilai sekolah ini sudah sampai ke pusat. Wajar sekali jika Kemendiknas nantinya akan memberi sanksi bagi sekolah yang terbukti melakukan kecurangan. Tidak hanya pada saat UN, tetapi juga membandingkan nilai sekolah (NS) dan nilai UN.

Bila terdapat gap quality mmencolok, bisa disimpulkan ada kecurangan. Perbedaan yang terlalu jauh antara NS dan UN menunjukkan pendongkrakan NS tidak wajar. Sekolah yang melakukan hal ini akan diberi sanksi pemotongan anggaran sekolah. Sebaliknya sekolah yang rata-rata UN-nya diatas NS akan diberi intensif (JPNN, 6 April 2011). Belakangan ancaman dipertegas, Kemendiknas akan mendelete nilai sekolah jika dianalisa terjadi pendongkrakan NS. Serta akan menghapus nilai UN siswa yang melakukan kecurangan dalam UN. Kepsek yang ditengarai melakukan kecurangan juga akan diberi sanksi. Dicopot jabatannya. (JPNN/Jawa Pos, 11-4-2011)

Bila sinyalemen pendongkrakkan ini benar, maka dunia pendidikan akan menggali lubang kubur untuk bangsanya sendiri. Semua pihak mengakui bahwa pendidikan adalah invenstasi jangka panjang. Keberhasilan pendidikan tidak bisa dilihat dalam waktu singkat. Panampakan keberhasilan pendidikan dalam bentuk angka sepertinya membuat orang terlena dan terpedaya.

Dampak toleransai kecurangan dan kemudahan kelulusan yang terjadi pada masa lalu saja telah menimbulkan kesan negatif pada siswa. Bapak ibu guru bisa mencermati perilaku siswa. Berapa persen anak yang serius dengan UN? Melihat hasil try out kurang dari syarat kelulusan serta menjelang UN, banyak siswa santai-santai bukan?
Inilah dampak awal sistemik pola kecurangan pelulusan siswa. Jika pendidikan melahirkan lulusan karbitan, republik ini di masa depan akan menerima warisan generasi semu. Generasi tanpa kemampuan sebenarnya. Bagaimana nasib bangsa jika nantinya dipimpin orang yang bukan ahlinya? Kalau manipulasi angka rupiah bisa berujung penjara, bagaimana dengan manipulasi angka rapor atau ujian? Moralitas bangsa semakin tenggelam bak digulung tsunami. Efek sistemik kecurangan dunia pendidikan yang menakutkan.Pelanggaran penilaian

Nilai kurang sebenarnya hal biasa. Namun sering ada ungkapan ketika seorang guru memberi nilai kurang dan ter(di)paksa memberi nilai baik. Berbagai celotehan pun muncul. Guru jangan pelit memberi nilai. Toh nilai bukan dari hasil membeli. Jadi berilah nilai anak yang bagus-bagus. Ibadah kan tidak harus bersedekah dengan harta. Sedekah nilai juga sebagian dari ibadah. Repot juga kalau Tuhan dibawa-bawa hanya untuk urusan nilai. Padahal Tuhan tidak butuh nilai. Tuhan lebih butuh bagaimana seseorang memperoleh nilai dengan jalan yang benar.
Guru pun bisa terpojok bila memberi nilai kurang. Banyaknya anak yang mendapat nilai kurang dianggap sebagai cermin kegagalan pembelajara guru dalam kelas. Kegagalan administratif. Sehingga guru mengambil jurus pamungkas. Daripada repot dan malah dibenci siswa, lebih baik obral nilai saja. Rambu-rambu penilaian sementara (dan seterusnya) dilanggar!

Budaya ABS VS Hati Nurani

Ada budaya yang sulit dihilangkan dalam kehidupan sosial birokrasi kita. Budaya ABS (Asal Bapak Senang). Sajian angka-angka tinggi lebih menarik daripada angka kurang. Sementara dalam hati tahu apa yang terbaik dilakukan. Yang jelas ABS dan hati nurani bagai dua sisi mata uang.

Ingin Selamat (tidak) harus berbuat benar! Pernah mendengar ungkapan seperti ini bukan? Contoh sederhana bisa pembaca lakukan di jalan raya. Kalau pembaca berkendara di jalan raya, kemudian dari arah depan ada kendaran menyalip dan melewati marka jalan. Sedangkan jalan hanya cukup dua lajur dan pembaca merasa di jalur yang benar? Apa yang pembaca lakukan? Kalau pembaca menganut kebenaran, musibah siap menimpa. Tetapi kalau mengalah dengan turun ke tepi, minimal kita tidak tertabrak. Meski kadang terpaksa tersungkur karena terjalnya tepi jalan.

Tidak banyak harapan guru selain menginginkan anak didiknya berhasil. Keberhasilan anak didik yang ditorehkan guru dalam bentuk angka sebagai penghargaan atas jerih payah belajar siswa. Guru akan bangga dan senang bila kerja keras guru mencerdaskan anak bangsa dihargai. Bukan dilecehkan. Tidak ada niatan guru untuk mematikan siswa hanya dengan nilai. Nilai adalah pembeda. Kelak bangsa ini bisa memilih kader terbaik untuk negeri tercinta. Perbedaan kemampuan akan melahirkan kehidupan yang indah.

Memberi hak kepada guru untuk menilai dengan ikhlas merupakan kunci untuk membangun idealisme guru dengan cara yang benar. Guru bukan monster yang tega dengan anaknya sendiri. Guru adalah manusia yang punya hati nurani untuk membuat keputusan dengan bijaksana. Bukan terpaksa dan direkayasa.

Sebagai bawahan di sekolah tentu guru sepatutnya sami’na wa atho’na. Mendengan dan taat perintah atasan. Jadi bagaimanapun idealisme seorang guru, pada akhirnya bisa luntur jika tidak ada pengayomnya. Diperlukan pemimpin pemberani untuk menyampaikan kebenaran walaupun itu pahit. Selama proses pendidikan dilalui dengan kerja keras dan benar hasil terburuk sekalipun harus siap diterima.

Pendidikan Karakter dengan Nilai

Kebenaran harus dijunjung, idealisme tetap dipegang. Sudah satu tahun Pendidikan Karakter Bangsa dicetuskan. Pemberian nilai sesuai rambu-rambu penilaian merupakan salah satu wujudnya. Di hari Pendidikan Nasional tahun ini saatnya kita merenung. Bahwa keberhasilan pendidikan jangan dilihat dari angka-angka. Pendidikan harus tetap berjalan di relnya, jangan terkontaminasi. Pendongkrakan nilai justru membunuh karakter. Tidak hanya siswa tetapi juga guru. Guru akan tersanjung bila nilai guru mampu membangkitkan siswa untuk belajar demi masa depannya dari hasil kerja keras dan belajar mandiri.

Dalam waktu dekat para guru dapat menguji diri. Berapa nilai minimal siswa pada rapor semester genap. Masihkah menggunakan KKM terdahulu, bila nantinya Formula Kelulusan 2011 tetap berlaku? Apa ada kenaikan drastis tanpa menggunakan menggunakan indikator penentuan KKM? Semoga tidak ada pencanagan program : Guru Dilarang Memberi Nilai Kurang! Sebuah renungan untuk merefleksi Pendidikan Nasional.

0 Comments:

Post a Comment