MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN ATAS KESALAHAN-KESALAHAN YANG PERNAH SAYA LAKUKAN BAIK YANG DISENGAJA MAUPUN TIDAK SENGAJA ..... SEMOGA ALLAH MASIH MEPERTEMUKAN KITA PADA RAMADHAN 1436H AMIN .. AMIN..MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN ATAS KESALAHAN-KESALAHAN YANG PERNAH SAYA LAKUKAN BAIK YANG DISENGAJA MAUPUN TIDAK SENGAJA ..... SEMOGA ALLAH MASIH MEPERTEMUKAN KITA PADA RAMADHAN 1436H AMIN .. AMIN.MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN ATAS KESALAHAN-KESALAHAN YANG PERNAH SAYA LAKUKAN BAIK YANG DISENGAJA MAUPUN TIDAK SENGAJA ..... SEMOGA ALLAH MASIH MEPERTEMUKAN KITA PADA RAMADHAN 1436H AMIN .. AMIN.

Sabtu, 01 Oktober 2011

:


PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA TENTANG PENDIDIKAN


Pada jaman kemajuan teknologi sekarang ini, sebagian besar manusia dipengaruhi perilakunya oleh pesatnya perkembangan dan kecanggihan teknologi (teknologi informasi). Banyak orang terbuai dengan teknologi yang canggih, sehingga melupakan aspek-aspek lain dalam kehidupannya, seperti pentingnya membangun relasi dengan orang lain, perlunya melakukan aktivitas sosial di dalam masyarakat, pentingnya menghargai sesama lebih daripada apa yang berhasil dibuatnya, dan lain-lain.

Seringkali teknologi yang dibuat manusia untuk membantu manusia tidak lagi dikuasai oleh manusia tetapi sebaliknya manusia yang terkuasai oleh kemajuan teknologi. Manusia tidak lagi bebas menumbuhkembangkan dirinya menjadi manusia seutuhnya dengan segala aspeknya. Keberadaan manusia pada zaman ini seringkali diukur dari “to have” (apa saja materi yang dimilikinya) dan “to do” (apa saja yang telah berhasil/tidak berhasil dilakukannya) daripada keberadaan pribadi yang bersangkutan (“to be” atau “being”nya). Dalam pendidikan perlu ditanamkan sejak dini bahwa keberadaan seorang pribadi, jauh lebih penting dan tentu tidak persis sama dengan apa yang menjadi miliknya dan apa yang telah dilakukannya. Sebab manusia tidak sekedar pemilik kekayaan dan juga menjalankan suatu fungsi tertentu. Pendidikan yang humanis menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang (menurut Ki Hajar Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif)). Singkatnya, “educate the head, the heart, and the hand !”

Di tengah-tengah maraknya globalisasi komunikasi dan teknologi, manusia makin bersikap individualis. Mereka “gandrung teknologi”, asyik dan terpesona dengan penemuan-penemuan/barang-barang baru dalam bidang iptek yang serba canggih, sehingga cenderung melupakan kesejahteraan dirinya sendiri sebagai pribadi manusia dan semakin melupakan aspek sosialitas dirinya. Oleh karena itu, pendidikan dan pembelajaran hendaknya diperbaiki sehingga memberi keseimbangan pada aspek individualitas ke aspek sosialitas atau kehidupan kebersamaan sebagai masyarakat manusia. Pendidikan dan pembelajaran hendaknya juga dikembalikan kepada aspek-aspek kemanusiaan yang perlu ditumbuhkembangkan pada diri peserta didik.

Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.

Dari titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda. Dalam masalah kebudayaan berlaku pepatah:”Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.” Manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri. Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti sebagai manusia itu sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang melingkupinya.

Ki Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan.

Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik secara fisik, mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggungjawab dan disiplin. Sedangkan maksud pendirian Taman Siswa adalah membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada aspek-aspek nasional. Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan universalistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan hara diri; setiap orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya. Peserta didik yang dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara pepatah ini sangat tepat yaitu “educate the head, the heart, and the hand”.

Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator); dalam hubungan (relasi dan komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah; dan juga relasi dan komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait); segi administrasi sebagai guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu meliputi antara lain: keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman. Maka penting pula membangun suatu etos kerja yang positif yaitu: menjunjung tinggi pekerjaan; menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan keinginan untuk melayani masyarakat. Dalam kaitan dengan ini penting juga performance/penampilan seorang profesional: secara fisik, intelektual, relasi sosial, kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator. Singkatnya perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional, produktif dan kolaboratif demi pemanusiaan secara utuh setiap peserta didik.

Akhirnya kita perlu menyadari bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia muda. Pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh di masyarakatnya, yang bertanggungjawab atas hidup sendiri dan orang lain, yang berwatak luhur dan berkeahlian. Semoga! Selengkapnya...

Senin, 12 September 2011

:

SEBUAH RENUNGAN !

Jangan apriori dulu membaca judul di atas. Memang tidak ada aturan resmi tentang larangan guru memberi nilai kurang kepada siswa. Belum jelas sanksi yang diterima bagi guru yang memberi nilai kurang. Tetapi bapak ibu guru mengalami ada larangan memberi nilai kurang.

Ketika guru memberi ulangan harian, dan ada siswa mendapat nilai kurang, menjadi kewajiban guru memberi remedial. Namun jika beberapa kali siswa tidak mampu memenuhi KKM, apa daya itulah hasil terbaik siswa. Toh dalam kriteria kenaikan yang menjadi wewenang sekolah tercantum, siswa bisa naik kelas jika maksimal terdapat beberapa nilai kurang dari KKM. Suatu kebijakan untuk menolerir batas kemampuan anak multi talenta.

Hingga rapat guru akan menentukan nasib anak yang belum memenuhi kriteria kenaikan. Wajar anak yang nilainya tidak memenuhi syarat apalagi nakal tidak naik kelas. Memberi pelajaran terbaik bagi pendidikan. Tidak hanya kepada anak yang tinggal kelas, tetapi juga yang lain.

Nilai Kurang Bukan Barang Tabu

Namun apa yang terjadi akhir-akhir ini? Setelah formula kelulusan mengakomodir nilai rapor serta nilai ujian sekolah, nilai-nilai kurang itu dianggap tabu bagi pendidikan. Apa sebab? Mudah diterka. Sekolah kuatir, jika nilai rapor dan nilai ujian sekolah rendah, akan banyak anak yang gagal lulus sekolah.
Angka-angka pun bermetamorfosis. Angka-angka kurang yang biasa melekat pada anak berkemampuan rendah lenyap bagai tersapu angin. Kalau secara statistik nilai anak ini biasanya berdistribusi normal, kali ini miring ke kanan. Baik semua. Parahnya ketika diverifikasi dan dilakukan tindakan P3K (Pertolongan Pertama Pada Kelulusan), biasanya justru anak-anak yang nilainya sangat kurang dan nakal mendapat hibah nilai lebih banyak. Yang belum dipikirkan secara masak, bagaimana tanggapan anak, orang tua atau siapapun, ketika suatu saat membaca nilai anak-anak yang biasanya di bawah standart tiba-tiba melonjak drastis?

Ada cerita, ketika acara menganugrahkan kepada lulusan terbaik, yang tampil sebagai pemuncak sebagian diisi anak-anak yang biasanya langganan remedial dan nakal. Tidak hanya teman, guru atau orang tua, masyarakat awam yang sudah mengenal anak-anak seperti ini kaget. Jangan heran bila ada orang memberi sindiran bahwa guru waktu memberi nilai matanya terpejam. Ini menunjukkan masyarakat awam tidak antipati terhadap nilai kurang. Asal nilai itu diperoleh melalui proses benar dan proporsional dengan kemampuan anak. Jadi nilai kurang bukan barang tabu lagi. Mengapa takut memberi nilai kurang?


Kecurangan sistematis berdampak sistemik

Sementara efek bola salju formula kelulusan UN menggelinding. Sedikit demi sedikit dampaknya terasa. Kekuatiran berlebihan itu menjelma bagai mimpi buruk di siang bolong. Kabar burung yang berhembus, praktek pendongkrakan nilai sekolah ini sudah sampai ke pusat. Wajar sekali jika Kemendiknas nantinya akan memberi sanksi bagi sekolah yang terbukti melakukan kecurangan. Tidak hanya pada saat UN, tetapi juga membandingkan nilai sekolah (NS) dan nilai UN.

Bila terdapat gap quality mmencolok, bisa disimpulkan ada kecurangan. Perbedaan yang terlalu jauh antara NS dan UN menunjukkan pendongkrakan NS tidak wajar. Sekolah yang melakukan hal ini akan diberi sanksi pemotongan anggaran sekolah. Sebaliknya sekolah yang rata-rata UN-nya diatas NS akan diberi intensif (JPNN, 6 April 2011). Belakangan ancaman dipertegas, Kemendiknas akan mendelete nilai sekolah jika dianalisa terjadi pendongkrakan NS. Serta akan menghapus nilai UN siswa yang melakukan kecurangan dalam UN. Kepsek yang ditengarai melakukan kecurangan juga akan diberi sanksi. Dicopot jabatannya. (JPNN/Jawa Pos, 11-4-2011)

Bila sinyalemen pendongkrakkan ini benar, maka dunia pendidikan akan menggali lubang kubur untuk bangsanya sendiri. Semua pihak mengakui bahwa pendidikan adalah invenstasi jangka panjang. Keberhasilan pendidikan tidak bisa dilihat dalam waktu singkat. Panampakan keberhasilan pendidikan dalam bentuk angka sepertinya membuat orang terlena dan terpedaya.

Dampak toleransai kecurangan dan kemudahan kelulusan yang terjadi pada masa lalu saja telah menimbulkan kesan negatif pada siswa. Bapak ibu guru bisa mencermati perilaku siswa. Berapa persen anak yang serius dengan UN? Melihat hasil try out kurang dari syarat kelulusan serta menjelang UN, banyak siswa santai-santai bukan?
Inilah dampak awal sistemik pola kecurangan pelulusan siswa. Jika pendidikan melahirkan lulusan karbitan, republik ini di masa depan akan menerima warisan generasi semu. Generasi tanpa kemampuan sebenarnya. Bagaimana nasib bangsa jika nantinya dipimpin orang yang bukan ahlinya? Kalau manipulasi angka rupiah bisa berujung penjara, bagaimana dengan manipulasi angka rapor atau ujian? Moralitas bangsa semakin tenggelam bak digulung tsunami. Efek sistemik kecurangan dunia pendidikan yang menakutkan.Pelanggaran penilaian

Nilai kurang sebenarnya hal biasa. Namun sering ada ungkapan ketika seorang guru memberi nilai kurang dan ter(di)paksa memberi nilai baik. Berbagai celotehan pun muncul. Guru jangan pelit memberi nilai. Toh nilai bukan dari hasil membeli. Jadi berilah nilai anak yang bagus-bagus. Ibadah kan tidak harus bersedekah dengan harta. Sedekah nilai juga sebagian dari ibadah. Repot juga kalau Tuhan dibawa-bawa hanya untuk urusan nilai. Padahal Tuhan tidak butuh nilai. Tuhan lebih butuh bagaimana seseorang memperoleh nilai dengan jalan yang benar.
Guru pun bisa terpojok bila memberi nilai kurang. Banyaknya anak yang mendapat nilai kurang dianggap sebagai cermin kegagalan pembelajara guru dalam kelas. Kegagalan administratif. Sehingga guru mengambil jurus pamungkas. Daripada repot dan malah dibenci siswa, lebih baik obral nilai saja. Rambu-rambu penilaian sementara (dan seterusnya) dilanggar!

Budaya ABS VS Hati Nurani

Ada budaya yang sulit dihilangkan dalam kehidupan sosial birokrasi kita. Budaya ABS (Asal Bapak Senang). Sajian angka-angka tinggi lebih menarik daripada angka kurang. Sementara dalam hati tahu apa yang terbaik dilakukan. Yang jelas ABS dan hati nurani bagai dua sisi mata uang.

Ingin Selamat (tidak) harus berbuat benar! Pernah mendengar ungkapan seperti ini bukan? Contoh sederhana bisa pembaca lakukan di jalan raya. Kalau pembaca berkendara di jalan raya, kemudian dari arah depan ada kendaran menyalip dan melewati marka jalan. Sedangkan jalan hanya cukup dua lajur dan pembaca merasa di jalur yang benar? Apa yang pembaca lakukan? Kalau pembaca menganut kebenaran, musibah siap menimpa. Tetapi kalau mengalah dengan turun ke tepi, minimal kita tidak tertabrak. Meski kadang terpaksa tersungkur karena terjalnya tepi jalan.

Tidak banyak harapan guru selain menginginkan anak didiknya berhasil. Keberhasilan anak didik yang ditorehkan guru dalam bentuk angka sebagai penghargaan atas jerih payah belajar siswa. Guru akan bangga dan senang bila kerja keras guru mencerdaskan anak bangsa dihargai. Bukan dilecehkan. Tidak ada niatan guru untuk mematikan siswa hanya dengan nilai. Nilai adalah pembeda. Kelak bangsa ini bisa memilih kader terbaik untuk negeri tercinta. Perbedaan kemampuan akan melahirkan kehidupan yang indah.

Memberi hak kepada guru untuk menilai dengan ikhlas merupakan kunci untuk membangun idealisme guru dengan cara yang benar. Guru bukan monster yang tega dengan anaknya sendiri. Guru adalah manusia yang punya hati nurani untuk membuat keputusan dengan bijaksana. Bukan terpaksa dan direkayasa.

Sebagai bawahan di sekolah tentu guru sepatutnya sami’na wa atho’na. Mendengan dan taat perintah atasan. Jadi bagaimanapun idealisme seorang guru, pada akhirnya bisa luntur jika tidak ada pengayomnya. Diperlukan pemimpin pemberani untuk menyampaikan kebenaran walaupun itu pahit. Selama proses pendidikan dilalui dengan kerja keras dan benar hasil terburuk sekalipun harus siap diterima.

Pendidikan Karakter dengan Nilai

Kebenaran harus dijunjung, idealisme tetap dipegang. Sudah satu tahun Pendidikan Karakter Bangsa dicetuskan. Pemberian nilai sesuai rambu-rambu penilaian merupakan salah satu wujudnya. Di hari Pendidikan Nasional tahun ini saatnya kita merenung. Bahwa keberhasilan pendidikan jangan dilihat dari angka-angka. Pendidikan harus tetap berjalan di relnya, jangan terkontaminasi. Pendongkrakan nilai justru membunuh karakter. Tidak hanya siswa tetapi juga guru. Guru akan tersanjung bila nilai guru mampu membangkitkan siswa untuk belajar demi masa depannya dari hasil kerja keras dan belajar mandiri.

Dalam waktu dekat para guru dapat menguji diri. Berapa nilai minimal siswa pada rapor semester genap. Masihkah menggunakan KKM terdahulu, bila nantinya Formula Kelulusan 2011 tetap berlaku? Apa ada kenaikan drastis tanpa menggunakan menggunakan indikator penentuan KKM? Semoga tidak ada pencanagan program : Guru Dilarang Memberi Nilai Kurang! Sebuah renungan untuk merefleksi Pendidikan Nasional. Selengkapnya...

;;